Selasa, 25 Maret 2014

Direct Investment & Indirect Investment


Pengertian investasi menurut KBBI adalah penanaman uang atau modal di suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan. Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran penanam-penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal atau perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan produksi barang dan jasa yang tersedia dalam perekonomian. Jadi sebuah pengeluaran dapat dikatakan sebagai investasi jika ditujukan untuk meningkatkan kemampuan produksi.

Dalam ekonomi  ada terminologi there is no (economic) growth without investment.  Pernyataan ini mengandung arti bahwa investasi memiliki peran yang penting dalam pembangunan ekonomi, walaupun investasi bukan satu-satunya komponen pertumbuhan ekonomi. Dalam pembangunan ekonomi, investasi memiliki dua peranan penting. Pertama, peran dalam jangka pendek berupa pengaruh terhadap permintaan agregat yang akan mendorong meningkatnya output dan kesempatan kerja. Kedua, efeknya terhadap pembentukan kapital. Investasi akan menambah berbagai peralatan, mesin, bangunan dan sebagainya. Dalam jangka panjang, tindakan ini akan meningkatkan potensi output dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.

Ada dua jenis investasi. Pertama ialah Investasi Langsung (Direct Investment) dimana investor dapat langsung berinvestasi dengan membeli secara langsung suatu aktiva keuangan dari suatu perusahaan. Investasi ini merupakan aset-aset riil (real assets) yang melibatkan aset berwujud, misalkan pembelian aset produktif, pendirian pabrik, pembukaan pertambangan, pembukaan perkebunan, dan lainnya. Investasi secara langsung selalu dikaitkan adanya keterlibatan secara langsung dari pemilik modal dalam kegiatan pengelolaan modal. Dalam penanaman modal secara langsung, pihak investor langsung terlibat dalam kegiatan pengelolaan usaha dan bertanggung jawab secara langsung apabila terjadi suatu kerugian. 

Kedua ialah Investasi Tidak Langsung (Portfolio Investment) dimana investor dapat melakukan investasi namun tidak terlibat secara langsung dan cukup dengan memegangnya dalam bentuk saham dan obligasi. Investasi tidak langsung pada umumnya merupakan investasi jangka pendek yang mencakup kegiatan transaksi di pasar modal dan di pasar uang. Investasi ini disebut sebagai investasi jangka pendek karena pada umumnya mereka melakukan jual saham dan atau mata uang dalam jangka waktu yang relatif singkat, tergantung kepada fluktuasi nilai saham dan atau mata uang yang hendak mereka perjualbelikan.Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sebenarnya sudah membedakan secara tegas antara investasi langsung (direct investment) dan investasi tidak langsung (portfolio investment). Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 2 undang-undang tersebut, yang mengatakan: “yang dimaksud dengan penanaman modal di semua sektor di wilayah negara Republik Indonesia adalah penanaman modal langsung dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portofolio.”


Perbedaan antara Direct Investment dan Portfolio Investment


Direct Investment
Portfolio Investment
Investor harus hadir dalam menjalankan usaha
Investor cukup sebagai pemegang saham dan tidak perlu hadir secara fisik
___
Tujuannya untuk memperoleh keuntungan maksimal dalam waktu singkat
Investor memiliki kontrol terhadap kegiatan perusahaan sehari-hari
Investor tidak memiliki kontrol terhadap perusahaan sehari-hari
___
Investor menanggung resiko sendiri dan tidak dapat menggugat perusahaan yang menjalankan kegiatannya
___
Kerugian pada Portfolio Investment tidak dilindungi oleh Hukum Kebiasaan Internasional
Mendirikan Perusahaan
Tidak Mendirikan Perusahaan
Perusahaan dikendalikan oleh seluruh/ sebagian pemilik perusahaan
Ada pemisahan pemilik dan manajemen
Investasi tidak dapat dipindahkan setiap saat
Investasi dapat dipindahkan setiap saat
Landasan hukumnya UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Landasan hukumnya UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
Pengelolanya BKPM
Pengelolanya Bapepam dan LK






Sumber:

  1. http://kbbi.web.id/investasi diakses Minggu 8 Maret 2014, Pukul 16.02
  2. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25820/3/Chapter%20II.pdf diakses Minggu 8 Maret 2014, Pukul 18.15 PM
  3. http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/128947-T+26695-Tinjauan+yuridis-Literatur.pdf diakses Minggu 8 Maret 2014 , Pukul 18.36

Minggu, 23 Maret 2014

Convention on Abolishing the Requirement of Legalisation for Foreign Public Documents (Apostille Convention)



     Konvensi ini ditandatangani di Den Haag, Belanda pada 5 Oktober 1961. Konvensi ini dibuat untuk menghapus syarat-syarat adanya legalisasi diplomatik atau konsuler daripada dokumen-dokumen luar negeri yang bersifat dokumen publik. Ruang lingkup dari Konvensi ini terbatas dan hanya berlaku bagi apa yang dinamakan dokumen publik dan dokumen-dokumen yang telah dibuat didalam wilayah salah satu negara peserta dan akan dilaksanakan didalam wilayah salah satu Negara peserta lainnya. (Pasal 1(1) AC).

Dokumen-dokumen publik disini diartikan sebagai dokumen yang berasal dari instansi-instansi atau pejabat yang mempunyai hubungan dengan pengadilan dan badan-badan peradilan suatu negara, seperti dokumen-dokumen yang berasal dari jaksa, juru sita pengadilan dalam melakukan panggilan-panggilan, dokumen administratif, akta-akta notaris dan sertifikat resmi lainnya yang ditempelkan atas dokumen-dokumen yang ditandatangani oleh orang-orang yang dalam kapasitasnya secara pribadi seperti sertifikat resmi mengenai pendaftaran suatu dokumen. Konvensi ini tidak berlaku untuk dokumen-dokumen yang dibuat oleh pejabat-pejabat Diplomatik atau Konsuler dan dokumen-dokumen administratif menangani operasional perdagangan atau Bea Cukai .

Konvensi Apostille memudahkan dan menghindarkan berbagai kesulitan-kesulitan formil berkenaan dengan syarat legalisasi. Akan tetapi, dilain pihak, tetap memperhatikan adanya kekuatan pembuktian otentisitas daripada dokumen luar negeri bersangkutan. Dengan ditempelkannya sebuah strook kertas tertentu yang dinamakan “Apostille”, dokumen hukum tersebut menjadi telah dilegalisasi oleh pejabat daripada negara yang mengeluarkan dokumen bersangkutan yang intinya memberikan keterangan berbentuk sertifikat yang menggantikan semua syarat-syarat legislasi (contoh di lampiran). Sertifikat ini yang bertanggal dan bernomor kemudian didaftarkan pada instansi dari negara yang mengeluarkan dokumen tersebut. Orang yang hendak melakukan verifikasi mengenai pendaftaran dari pada dokumen ini dapat menanyakan secara mudah kepada instansi yang memberikan sertifikat atau apostille itu mengenai kebenaran daripadanya. Mengenai keaslian daripada dokumen hukum dapat diketahui secara mudah dan murah. Apabila ternyata benar dokumen itu telah dilihat dan didaftarkan didalam daftar apostille bersangkutan di negara itu, maka dapat diterimalah oleh hakim dari negara lain bahwa sesungguhnya dokumen itu sah adanya. Dengan dipermudahnya syarat legalisasi yang diganti dengan syarat menempelkan apostille dapat dicapai beberapa hal yang menguntungkan. Dengan demikian, tugas para hakim yang harus memeriksa dokumen-dokumen luar negeri bersangkutan menjadi semakin mudah. Disamping itu, juga diperoleh kepastian tentang kekuatan pembuktian di luar negeri untuk setiap orang yang hendak memakai dokumen bersangkutan sebagai alat pembuktian di luar negeri.

Menurut Prof. Sudargo Gautama, akan sangat baik jika Indonesia turut serta menandatangani Konvensi Apostille karena dengan begitu akan dipermudah lalulintas dalam bidang berperkara apabila perkara-perkara ini menyangkut soal-soal pembuktian yang berada di negara-negara lain. Dengan dipermudahnya memperoleh dokumen-dokumen ini sebagai alat pembuktian didalam proses perkara di Pengadilan negara-negara lain, akan tercapailah akselerasi daripada arus lalu-lintas dan hubungan hukum  pada umumnya. Dengan demikian dapat dihindari prosedur yang berbelit-belit, mamakan waktu dan biaya untuk dapat memprodusir alat-alat pembuktian dari Indonesia dalam perkara-perkara di luar negeri dan sebaliknya di didalam negeri untuk proses perkara-perkara perdata dan hukum dagang

Adapun manfaat resiprositasnya sangat besar baik bagi warga negara dan badan hukum Indonesia ataupun asing yang seringkali berbelit-belit. Ratifikasi Konvensi Apostille ini tentu akan sejalan dengan visi pemerintah saat ini, yaitu pertama, meningkatkan kualitas pelayanan publik. Kedua mendorong investasi/ modal dari luar negeri. Ketiga, realisasi dari komitmen Indonesia untuk terus mendorong pemerintahan terbuka (open government).

Menurut Prof. Sudargo Gautama, tidak akan kerugian yang mencolok bagi Indonesia jika turut serta dalam Konvensi ini. Seperti beberapa Konvensi Den Haag lainnya yang bertujuan untuk mempermudah lalu-lintas internasional, mak Konvensi tentang penghapusan syarat legalisasi tahun 1961 ini dapat diterima oleh Indonesia.

Sumber:

  1. http://bphn.go.id/index.php?action=public diakses Minggu 16 Maret Pukul 23.37
  2. Prof. Sudargo Gautama: Buku Indonesia dan Konvensi-Konvensi HPI.

Sabtu, 22 Maret 2014

Tanpa Mata

Salah jika hukum itu tanpa mata. Karena jika tidak pakai mata, maka hukum akan menjadi tidak manusiawi. Kita sebagai sesama manusia harus memiliki rasa manusiawi dimana siapapun yang berbuat salah, sesalah-salahnya tetap harus kita tolong dan ajarkan hingga ia mengerti dan berperilaku baik di masyarakat. 

     Saya tidak pernah setuju dengan hukuman mati, karena itu sama saja kita menyerah dengan saudara kita dan rasa manusiawi yang kita miliki. Hal terburuk dari kematian bukanlah rasa sakit ketika hal tersebut datang, tapi ketidakjelasan kemana kita pergi setelah mati.. Apakah kita bisa melakukan hal ini kepada saudara kita sendiri?

Rabu, 26 Februari 2014

Amco Asia Corporation and others v. Republic of Indonesia (ICSID Case No. ARB/81/1)


Pihak Penggugat dalam kasus ini adalah AMCO yang membentuk konsorsium dan terdiri atas: (1). Amco Asia Corporation, (2). Pan American Development, (3). PT. Amco Indonesia.
Dengan pihak Tergugat : Pemerintah Republik Indonesia diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Kasus ini ialah tentang Pencabutan Izin Investasi yang telah diberikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terhadap AMCO untuk pengelolaan Hotel Kartika Plaza. Semula, diberikan jangka waktu selama 30 tahun, namun BKPM mencabut izin investasi tersebut ketika masih memasuki tahun ke-9. Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), telah merugikan dan memperlakukan penanaman modal asing di Indonesia secara tidak wajar. Pemerintah Indonesia c.q BKPM, telah melakukan pencabutan lisensi penanaman modal asing secara sepihak, tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu sesuai yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Kemudian, tuntutan diajukan kepada lembaga arbitrase ICSID yang bertempat di Washington DC, Amerika Serikat oleh para investor yang membentuk konsorsium pada tanggal 15 Januari 1981. Kasus sengketa antara Pemerintah Indonesia dalam perkara Hotel Kartika Plaza Indonesia, telah diputus dalam tingkat pertama oleh lembaga ICSID yang putusannya berisikan bahwa Pemerintah Indonesia telah dinyatakan melakukan pelanggaran baik terhadap ketentuan hukum internasional maupun hukum Indonesia sendiri, dimana Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah melakukan pencabutan lisensi penanaman modal asing yang dilakukan oleh para investor asing seperti AMCO Asia Corporation, Pan America Development dan PT. Amco Indonesia. Dalam tingkat pertama ini, tim arbitrase yang dipimpin oleh Prof. Berthold Goldman memberikan keputusannya dengan menitikberatkan pada ketentuan hukum internasional dan lebih mengutamakan perasaan keadilan dan kepatutan (ex aquo et bono). Disinilah pemerintah Indonesia dikalahkan. 

Atas putusan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia mengajukan keberatan atas dasar:
  1. Mengenai permasalahan tersebut hukum indonesia tidak menunjukkan kekosongan hukum. Maka, seharusnya digunakan hukum Indonesia; dan
  2. Para pihak sendiri tidak pernah menyetujui sebelumnya, bahwa putusan bisa didasarkan atas prinsip keadilan dan kepatutan (ex aquo et bono).
Dalam tingkat kedua, yang merupakan putusan panitia adhoc ICSID sebagai akibat dari permohonan Pemerintah Indonesia untuk membatalkan putusan (annulment) tingkat pertama, Pemerintah Indonesia dianggap benar dan sesuai dengan hukum Indonesia untuk melakukan pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing dan tidak diwajibkan untuk membayar ganti kerugian atas putusan tingkat pertama, namun Pemerintah Indonesia tetap diwajibkan untuk membayar biaya kompensasi ganti kerugian atas perbuatan main hakim sendiri (illegal selfhelp) terhadap penanaman modal asing. Dalam putusan tingkat kedua ini, majelis arbitrase yang dipimpin oleh Prof. Seidl Hohenveldren membatalkan putusan tingkat pertama tersebut. Hal yang menjadi dasar pembatalan tersebut ialah hukum Indonesia. Putusan ini menggambarkan bahwa majelis arbitrase tidak dibenarkan menjatuhkan putusan atas dasar keadilan dan kepatutan (ex aquo et bono), bila para pihak tidak bersepakat terlebih dahulu. Putusan tingkat ketiga oleh ICSID pada pokoknya berisikan bahwa Indonesia tetap dikenakan kewajiban pembayaran terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing kepada pihak investor yaitu sebesar US $ 3.200.000 pada tingkat pertama.

Senin, 24 Februari 2014

Perjanjian San Francisco (1951)


     Perjanjian ini secara resmi mengakhiri Perang Dunia ke-II dan juga mengakhiri kedudukan Jepang sebagai kekuatan imperialis. Perjanjian ini sebagian besar didasarkan pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Perjanjian San Francisco ialah perjanjian antara pihak Sekutu dengan Jepang yang ditandatangani oleh 49 negara pada 8 September 1951 di San Fracisco, California, dan mulai berlaku efektif pada 28 April 1952. 

Negara peserta konferensi adalah sebagai berikut: Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Belanda, Belgia, Bolivia, Brasil, Cekoslowakia, Chili, Ekuador, El Savador, Ethiopia, Filipina, Guatemala, Haiti, Honduras, Indonesia, Irak, Iran, Jepang, Kamboja, Kanada, Kerajaan Bersatu, Kolombia, Kosta Rika, Kuba, Laos, Lebanon, Liberia, Luksemburg, Meksiko, Mesir, Nikaragua, Norwegia, Pakistan, Panama, Paraguay, Perancis, Peru, Polandia, Republik Dominika, Selandia Baru, Sri Lanka, Suriah, Turki, Uni Soviet, Uruguay, Venezuela, Vietnam, Yunani. Dari 52 negara peserta, hanya 49 negara yang menandatanganinya. Beberapa negara yaitu Uni Soviet, Cekoslowakia, dan Polandia, menolak untuk menandatangani. 

Dampak Perjanjian San Francisco terhadap Jepang:

  1. Membatalkan hak-hak Jepang berdasarkan Protokol Boxer tahun 1901 dan hak Jepang atas Korea, Formosa (Taiwan), Hong Kong (koloni Inggris), Kepulauan Kuril, Pescadores, Kepulauan Spratly, Antartika, dan Pulau Sakhalin.
  2. Pasal 3 dari perjanjian ini secara resmi memasukkan Kepualauan Ogasawara dan Kepualauan Ryukyu, termasuk Okinawa dan Kepulauan Amami, Miyakojima, dan Kepulauan Yaeyama ke dalam perwalian Amerika Serikat. 
  3. Sesuai Pasal 11, Jepang menerima keputusan Mahkamah Militer Internasional dan Pengadilan Kejahatan Perang untuk melaksanakan hukuman-hukuman terhadap warganegara Jepang yang dipenjarakan di Jepang.
  4. Jepang membayar kerugian perang sesuai dengan Pasal 14 dalam perjanjian ini  yang menyatakan "Jepang diharapkan segera berunding dengan Kekuatan Sekutu yang wilayah miliknya diduduki tentara Jepang dan dirusak oleh Jepang, dengan maksud membantu membayar rampasan perang kepada negara-negara tersebut untuk biaya perbaikan untuk kerusakan yang telah disebabkan, dengan cara menyediakan bantuan rakyat Jepang dalam produksi, pemulihan, dan pekerjaan lain untuk Kekuatan Sekutu seperti tersebut."

Rabu, 19 Februari 2014

ICSID Memenangkan Indonesia & Menolak Permohonan Rafat Ali Rizvi



Rafat Ali Rizvi ialah seorang warga negara Inggris yang ditangkap oleh Kepolisian Republik Indonesia karena mencuri aset dari Bank Century, setelah bank tersebut diselamatkan pemerintah dari pailit pada tahun 2008. Ia diduga melakukan korupsi dan pencucian uang. Ia sebenarnya adalah pemegang saham terbesar bersama Hesham al Warraq, seorang warga negara Arab Saudi dan Robert Tantular, seorang pengusaha lokal Indonesia. Robert Tantular telah dijatuhi hukuan penjara selama 5 tahun, sedangkan Rafat Ali Rizvi dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun selaku terpidana dalam perkara no 339/PID.B/2010/PN.JKT.PST yang diadili secara in absentia, yang putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap. Namun Rafat mengajukan gugatan arbitrase terhadap pemerintah RI melalui lembaga International Centre for Settlement Investment Disputes (ICSID), pada tanggal 5 April 2011 yang terdaftar dengan register nomor ARB/11/13.

Dua alasan diajukannya gugatan ini. Pertama, dikarenakan masalah investasi dimana Rafat merasa dirugikan atas pengucuran bailout Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun saat itu. Alasan kedua, Rafat menilai putusan pidana Pengadilan Jakarta Pusat yang memvonis keduanya hukuman 15 tahun penjara secara inabsentia, telah melanggar Hak Asasi Manusia. Dalam gugatannya tersebut, Rafat yang memposisikan dirinya sebagai pemegang saham terbesar Bank Century, berpendapat bahwa Pemerintah RI telah melakukan pelanggaran terhadap perjanjian investasi bilateral antara Indonesia dan Inggris (BIT) dalam penyelamatan Bank Century dan menuntut Pemerintah RI, diantaranya untuk membayar ganti rugi sebesar 75 juta dollar. Namun, sebenarnya ICSID tidak berwenangnya untuk memeriksa dan memutuskan gugatan Rafat Ali Rizvi dikarenakan: 

  1. Konvensi ICSID hanya memperkenankan arbitrase ICSID untuk memeriksa sengketa antara investor asing melawan negara terkait atas investasi yang dilakukan di negara tersebut.
  2. BIT yang dijadikan dasar gugatan mensyaratkan investasi untuk mendapatkan izin berdasarkan UU. No. 1 Tahun 1967 (UU PMA) atas peraturan penggantinya. 
  3. Investasi Rafat Ali Rizvi tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan perlindungan BIT, termasuk hak untuk mengajukan gugatan arbitrase, karena investasinya di Indonesia tidak memperoleh izin yang sesuai dengan ketentuan UU Penanaman Modal Asing yang berlaku di Indonesia, sebagaimana diatur di dalam BIT tersebut.

Pada tanggal 16 Juli 2013, Majelis Arbitrase ICSID mengeluarkan putusan mengenai yurisdiksi Majelis Arbiter dan ICSID untuk memeriksa dan mengadili perkara Rafat Ali Rizvi melawan Pemerintah RI dengan amar putusan:
  1. Menerima eksepsi yurisdiksi Pemerintah RI, bahwa investasi Rafat Ali Rizvi tidak mendapat izin berdasarkan UU PMA, sebagaimana disyaratkan oleh BIT dan investasi tersebut tidak mendapatkan perlindungan BIT antara RI dan Inggris.
  2. Menolak argumentasi Rafat Ali Rizvi yang memakai pasal most-favored-nation untuk mendapatkan perlindungan BIT.
  3. Menyatakan ICSID dan Majelis tidak memiliki yurisdiksi untuk perkara. 

Dengan putusan tersebut Pemerintah RI telah dimenangkan dalam perkara tersebut. Maka dengan demikian, Rafat Ali Rizvi tidak dapat menggugat Pemerintah RI di forum arbitrase ICSID terkait penyelamatan Bank Century.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana mengapresiasi putusan International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) yang memenangkan Pemerintah Indonesia terhadap gugatan yang diajukan terpidana kasus korupsi Bank Century, Rafat Ali Rizvi. Menurut beliau, terdapat 3 alasan mengapa putusan ini harus diapresiasi. Pertama, tidak semua investasi asing dapat diargumentasikan oleh investor untuk diajukan ke forum ICSID. Kedua, pemerintah  RI telah menyampaikan bukti yang kuat mengenai investasi Rafat yang tidak termasuk dilindungi oleh "Bilateral Investment Treaty" antara Inggris dengan Indonesia. Ketiga, kasus Bank Century sebaiknya tidak dibawa ke forum peradilan internasional, dikarenakan kasus ini tidak termasuk sengketa hukum yang perlu diselesaikan oleh ICSID.


Sumber: 
  1. http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/asia/indonesia/7175319/British-banker-could-face-death-over-fraud-charges.html diakses Senin 17 Februari 2014 Pukul 00.07
  2. http://www.thejakartapost.com/news/2013/07/20/intl-tribunal-rule-ri-century-arbitration.html diakses Senin 17 Februari 2014 Pukul 00.10
  3. http://beritahukum.com/detail_berita.php?judul=Gugatan%20Rafat%20Ali%20Rizvi%20Melalui%20ICSID%20Ditolak#.UwD5Cyh76fQ diakses Senin 17 Februari 2014 Pukul 01.34
  4. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51e8102cdb75f/prof-hikmahanto-apresiasi-putusan-icsid-terkait-century diakses Senin 17 Februari 2014 Pukul 01.42 

Minggu, 16 Februari 2014

International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID)


ICSID (International Centre for Settlement of Investment Disputes) ialah lembaga otonom internasional yang dilahirkan oleh bank dunia. Konvensi yang mendirikan ICSID ialah Konvensi Washington yang merupakan perjanjian multilateral yang dirumuskan oleh Direksi Eksekutif Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (Bank Dunia).   Konvensi ini mengatur mengenai perselisihan antara suatu negara dengan perorangan atau perusahaan asing yang menanam modalnya di negara tersebut dengan jalan damai melalui konsiliasi atau arbitrase. Terbentuknya konvensi ini adalah sebagai akibat dari situasi perekonomian dunia pada waktu 1950-1960-an yaitu khususnya disaat beberapa negara berkembang menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang berada di dalam wilayahnya. Tindakan ini mengakibatkan konflik-konflik ekonomi yang dapat berubah menjadi sengketa politik atau bahkan perang. Konvensi ini ditandatangani tanggal 18 Maret 1965 & mulai diberlakukan tanggal 14 Oktober 1966. ICSID telah memiliki anggota sebanyak seratus empat puluh negara anggota termasuk Australia, China, Perancis, dan Indonesia. Tujuan utama dari ICSID adalah menyediakan fasilitas untuk konsiliasi dan arbitrase sengketa investasi internasional.

Untuk mengajukan sengketa kepada ICSID, para pihak sebelumnya harus mencapai kata sepakat. Konvensi mensyaratkan adanya sepakat yang tertulis sebelum mengajukan penyelesaian sengketa kepada ICSID. Penunjukan badan arbitrase ini tercantum dalam klausula perjanjian penanaman modal yang menetapkan penyerahan suatu sengketa yang di masa mendatang mungkin timbul dari perjanjian tersebut. Menurut Pasal 25 ayat (1) Konvensi ICSID, kata sepakat untuk menyerahkan sengketa kepada arbitrase ICSID tidak perlu “dinyatakan” di dalam dokumen tersendiri. Negara penerima modal melalui peraturan perundang-undangannya dapat menawarkan agar sengketa yang timbul antara investor dan negara penerima modal diserahkan kepada arbitrase ICSID.

Dilihat dari ratione matriae-nya, yurisdiksi ICSID hanya berlaku jika memenuhi keadaan di  Pasal 25 ayat 1 dari ICSID Convention. Kalimatnya berbunyi “setiap sengketa hukum yang berasal dari penanaman modal.” Maka dari itu, setiap subjek hukum yang ingin sengketanya diselesaikan oleh ICSID harus memiliki 3 komponen yaitu, pertama   subjek hukum tersebut memiliki sengketa hukum yang ingin diselesaikan. Kedua, sengketa hukum tersebut harus memiliki bukti transaksi pokok yang telah dilakukan. Ketiga, transaksi pokok tersebut termasuk dalam transaksi penanaman modal. 

Terdapat dua macam penyelesaian sengketa yang dianut oleh Konvensi ICSID yaitu melalui konsiliasi (conciliation) dan arbitrase (arbitration). Masing-masing  dibawahi oleh komisi konsiliasi dan arbitrase. Kedua komisi ini diketuai oleh seseorang yang disebut dengan dewan konsiliasi atau arbitrase. ICSID mempunyai kewenangan penuh untuk menyelesaikan sengketa para pihak ketika terdapat salah satu kesepakatan di antara mereka. Kesepakatan ini dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis yang didalamnya terdapat sebuah klausul penyelesaian sengketa. Klausul ini harus menyatakan bahwa kedua belah pihak telah sepakat untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase ICSID. Dalam hal penyelesaian sengketa melalui arbitrase ICSID, hukum yang berlaku adalah hukum yang dipilih oleh para pihak (choice of law). Lembaga arbitrase ini tidak boleh menerapkan hukum yang tidak dikenal oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka. Pemilihan dan penerapan hukum tersebut harus senantiasa mendasarkan kepada asas kepatutan (ex aqueto et bono).

Pada saat timbul sengketa, para pihak yang sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui ICSID (baik memilih konsilasi ataupun arbitrase) harus mengajukan permohonan kepada Sekretaris Jenderal ICSID. Permohonan ini didasari dengan perjanjian tertulis mengenai kesepakatan para pihak dalam menyelesaikan sengketa melalui ICSID. Di dalam permohonan tersebut harus diuraikan juga masalah-masalah (issues) yang menjadi sengketa, identitas para pihak, komitmen bersama terhadap penyelesaian sengketa yang dipilih serta hukum acara yang nantinya akan dipakai. Permohonan ini kemudian diperiksa oleh Sekretaris Jenderal ICSID apakah sudah dapat diterima atau ditolak. Jika permohonan yang diajukan diterima, maka bagi permohonan penyelesaian sengketa melalui konsiliasi, dewan konsiliasi ICSID akan segera membentuk suatu komisi. Sedangkan terhadap permohonan penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang diterima, maka dewan arbitrase ICSID akan membentuk Mahkamah Arbitrase (Arbitration Tribunal).

ICSID tidak seperti lembaga arbitrase pada umumnya. Tidak seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia, American Arbitration Association atau Singapore International Arbitration Center. ICSID tidak menyelesaikan sengketa antar subyek hukum perdata. ICSID hanya menyelesaikan sengketa antar pemerintah sebagai subyek hukum publik dan para investor sebagai subyek hukum perdata. Kedudukan pemerintah sebagai subyek hukum publik karena pemerintah yang mengeluarkan berbagai izin terkait dengan investasi. Republik Indonesia meratifikasi Konvensi ICSID dengan UU no. 5 tahun 1968 (LN No.32 tahun 1968) yakni Undang-undang tentang persetujuan atas Konvensi tentang penyelesaian perselisihan antara negara dengan warga negara asing mengenai penanaman modal. Undang-undang ini singkat saja hanya terdiri dari 5 pasal saja. Disebutkan bahwa sesuatu perselisihan tentang penanaman modal antara Republik Indonesia dan warga negara asing diputuskan menurut Konvensi ICSID dan Pemerintah mewakili Republik Indonesia dalam perselisihan tersebut untuk hak substitusi. (Pasal 2).

Sumber:
  1. http://lotusbougenville.wordpress.com/2011/02/11/arbitrase-penanaman-modal-asing-kasus-kartika-plaza-sebagai-suatu-model/#_ftn19, diakses 15 Februari 2014 Pukul 02.00
  2. http://unctad.org/en/docs/edmmisc232add4_en.pdf, diakses 15 Februari 2014 Pukul 12.34 
  3. http://kphindonesia.freevar.com/?p=142 diakses 15 Februari Pukul 23.44